Bab Pembahasan
Pendekatan Matematika
Realistik
Sejarah PMR
Pada tahun 1973, Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam
pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama RME (Realistic
Mathematics Education). Dalam penelitian ini RME tersebut diberi istilah
sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yang dipandang sebagai
pendekatan dan berupa urutan sajian bahan ajar.
PMR awalnya dikembangkan di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
konsep Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas
manusia. Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa (Gravemeijer, 1994). Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep
matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa tidak hanya
situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka
bayangkan (Heuvel, 1998).
Esensi dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), dapat ditemukan pada
pandangan Freudenthal yang sangat penting yang berkaitan dengan PMR yaitu:
“mathematics must be connected to reality” dan “ mathematics as human
activity”. (Waraskamdi.2008)
gertian PMR
Dan saat
ini pembelajaran masih
didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan
timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah
suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di
negeri Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal.
Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran (Gravemeijer: 1994).
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan
kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan
orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilaksanakan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan”realistik”. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa (Slettenhass, 2000).
Soedjadi (2001:
2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada
dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan
matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu.
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik (PMR), yaitu sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971
oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht
University di Negeri Belanda. 1990) bahwa matematika adalah kegiatan
manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan
matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide
dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata.
Pembelajaran Matematika Realistik Menurut
Zainurie (2007) matematika realistik adalah matematika
sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa
sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai
sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada
karakteristik-karakteristik Realistic Mathematics Education (RME),
sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep
matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi
kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah
sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Realistic Mathematics Education (RME)
merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama
kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal (dalam Zainurie, 2007)
yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika
merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan
relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik pada
dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik
untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan
pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud
dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau
dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan
lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan
sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.
Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari
Sebelum kita
mengimplementasikan pendekatan matematika realistik, marilah kita terlebih
dahulu melihat kembali karakteristik pendekatan ini. Di sini kita akan
menggunakan 5 (lima) karakteristik utama pendekatan matematika realistik
sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika. Kelima karakteristik
itu adalah sebagai berikut:
Menurut Treffers (dalam Zainurie, 2007: tidak berhalaman) karakteristik RME:
Menggunakan
konteks dunia nyata, yang menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman anak sehari-hari
b. Menggunakan
model-model (matematisasi), artinya siswa membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah.
c. Menggunakan
produksi dan konstruksi, dengan pembuatan produksi bebas siswa terdorong
untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengkonstruksi pengetahuan
matematika formal.
d. Menggunakan
interaksi, secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment),
dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang
lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga
bidang lain
i dactical phenomenology (fenomena didaktif)
Situasi-situasi
yang diberikan dalam suatu topik matematika atas dua pertimbangan, yaitu
melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam
proses matematika. (I Gusti Putu Suharta.2009)
Gravemeijer (1994:90) menyatakan, berdasar
prinsip ini penyajian topic-topik matematika yang termuat
dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu:
a) Memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses
pembelajaran
b)
Kesesuaian sebagai hal yang berpengaruh dalam
proses progressive mathematizing
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam fenomena
pembelajaran ini menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan
topik-topik matematika pada siswa.
Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu :
a)
aspek kecocokan dalam pembelajaran
b)
kecocokan dampak dalam proses re-inventio
c)
Self
developed models
Gravemeinjer menjelaskan berdasar prinsip ini
saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk
mengembangankan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang
antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa
mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan
pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada
yang dimiliki siswa (Gravemeinjer : 1994).
Pembelajaran harus dimulai
dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan
sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat
langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka.
1.
Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus
sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model
dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti
cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa.
Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada
di sekitar siswa.
2.
Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka
sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan
masalah nyata yang diberikan oleh guru.
Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi
baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen
yang penting dalam pembelajaran matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan
bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta
mengevaluasi pekerjaan mereka. Kemampuan Berfikir Siswa
1.
Dalam
kamus bahasa Indonesia Poerwadarminta (1984: 752) disebutkan bahwa berpikir
adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan sesuatu.
Berpikir merupakan proses mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang
berkaitan dengan masing-masing individu. Pembentukan dan perkembangan kemampuan
berpikir seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu lahir dari kematangan
kemampuan intelektual serta yang diperolehnya dari belajar selama waktu
tertentu. Pentingnya kemampuan berpikir pada pelaksanaan pembelajaran matematika,
jika dihubungkan dengan teori Piaget (teori perkembangan kognitif). Maka
berdasarkan teori ini, proses belajar dapat berlangsung apabila terjadi proses
pengolahan data yang aktif dipihak pembelajar. Pengolahan data yang aktif
merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan mencari informasi dan dilanjutkan
dengan kegiatan penemuan (Gredler dalam Ari; 1997: 24). Bruner membangun teori
belajar yang dinamakan dengan teori Bruner. Menurut teori ini, belajar
merupakan proses aktif di mana siswa mengkonstruk gagasan atau konsep baru
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.
|
sebelumnya. Siswa
menyeleksi dan mengubah informasi, mengkonstruksi hipotesis, dan membuat
keputusan didasarkan pada struktur kognitif (Kamarga, 2000). Menurut Bruner
bahwa pengembangan dalam pembelajaran menjelaskan, bahwa “Mengajarkan suatu
pelajaran kepada siswa pada usia manapun dapat memperkenalkan struktur
keilmuan pada pelajaran tersebut asalkan disesuaikan dengan cara berpikir
siswa”. Berdasarkan teori yang dikemukakannya, Bruner menganjurkan untuk
mengajarkan disiplin ilmu pada siswa, sehingga terjadi apa yang dinamakan
dengan transfer of training yaitu pemahaman terhadap struktur keilmuan yang
menyebabkan bahan pelajaran menjadi lebih komprehensif (Hasan; 1996).
Selanjutnya perkembangan kemampuan berpikir siswa dalam belajar dapat
dilakukan dengan tahapan-tahapan yang meliputi tiga tahapan berpikir yaitu:
enactive, iconic dan symbolic (Hasan, 1996).
|
|
melalui
2 (dua) sisi yaitu kedudukan formal Bilangan Pecah dalam konteks kurikulum
dan
silabus, dan kajian substantif bilangan pecah itu sendiri. Di dalam Pedoman
Pengembangan
KTSP disebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika dapat dimulai
dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan
mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk
menguasai
konsep matematika. Tujuan pembelajaran bilangan pecahan di SMP dapat
disebutkan
sebagai berikut:
1.
Memecahkan masalah kontekstual dan menemukan konsep bilangan pecah dari
masalah
kontekstual yang dipecahkan.
2.
Memahami konsep bilangan pecah, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan
konsep bilangan pecah, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam
pemecahan masalah
3.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi dan membuat
generalisasi
tentang bilangan pecah.
4.
Mengomunikasikan konsep dan penggunaan bilangan pecah
3.
5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan bilangan pecah dalam kehidupan seharihari.
Hubungan di antara bagian-bagian
dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia
nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait mengait dalam
penyelesaian masalah. Sekarang mari kita membahas karakteristik di atas untuk melihat
bagaimana seharusnya pembelajaran matematika dirancang. Pertama, pembelajaran
matematika harus realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti
membayangkan. Jadi, pembelajaran matematika realistik dapat diartikan sebagai
pembelajaran matematika yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu,
pembelajaran matematika harus dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia
nyata supaya siswa dapat membayangkannya. Masalah yang dipilih harus
disesuaikan dengan konteks kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus
dikenal baik oleh siswa. Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah,
pempek hanya cocok digunakan di Sumatera Selatan, tetapi tidak cocok untuk
digunakan di Papua. Dalam konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk
geometri, misalnya, Monas atau Jembatan Ampera tidak cocok untuk digunakan di
Kalimantan, karena siswa tidak dapat membayangkan bangunan-bangunan tersebut.
Ini adalah karanteristik kedua. Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika
realistik siswa diberi sebuah masalah dari dunia nyata dan diberi waktu untuk
berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara dan bahasa serta simbol
mereka sendiri. Misalnya, pada awal pembelajaran guru bercerita bahwa dia
memiliki dua potong roti dan akan membagi kedua potong roti itu kepada tiga
orang anaknya. Kemudian guru itu bertanya kepada siswa bagaimana cara memotong
roti tersebut supaya ketiga anaknya mendapat bagian yang sama banyak.
Selanjutnya siswa diberi waktu untuk menyelesaikan masalah itu dengan cara
mereka sendiri, seperti membuat gambar atau mencari sesuatu yang menyerupai
roti. Tentu saja pembelajaran ini akan lebih menarik bila guru tadi benar-benar
membawa dua potong roti ke dalam kelas. Karakteristik selanjutnya adalah sifat
interaktif. Setelah diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan cara mereka
sendiri, siswa diminta menceritakan cara yang digunakannya untuk menyelesaikan
masalah tersebut kepada teman-teman sekelasnya. Siswa lain diminta memberi
tanggapan mengenai cara yang disajikan temannya. Dengan cara seperti ini siswa
dapat berinteraksi dengan sesamanya, bertukar informasi dan pengalaman, serta
berlatih mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada orang lain. Akhirnya, siswa
dibimbing untuk menemukan aturan umum untuk menyelesaikan masalah sejenis. Di
sinilah siswa dapat melihat hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari
atau dengan pelajaran lain. Inilah yang membuat pembelajaran matematika lebih
bermakna. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Uraian di atas jelas menggambarkan
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik. Secara umum langkah-langkah
pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat
Zulkardi, 2002):
1.
Persiapan
Selain
menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan
memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam
menyelesaikannya.
Pembukaan
Pada
bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan
diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
Proses
pembelajaran
Siswa
mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok.
Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan
siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan
terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya
diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan
strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
Penutup
Setelah
mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa
diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran
siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Sekarang marilah kita perhatikan contoh
bagaimana langkah-langkah ini diterapkan dalam sebuah pembelajaran matematika.
Misalnya, topik yang akan diajarkan adalah bilangan pecahan. Salah satu
kompetensi yang akan dicapai dalam topik ini adalah ”menjelaskan arti pecahan
dan membandingkannya.” Kita dapat menggunakan kue yang berbentuk bulat dan
tipis, seperti serabi, atau kertas berbentuk lingkaran yang sama besar.
.
Persiapan
Sebagai
persiapan, guru mempelajari terlebih dahulu arti pecahan dan cara mengurutkannya.
Setelah menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai untuk memulai
pembelajaran, guru menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Di sini kita akan
menggunakan masalah membagi kue serabi, sehingga guru harus menyediakan
beberapa lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai model kue
serabi. Selanjutnya guru menyiapkan skenario pembelajaran yang akan digunakan
di kelas. Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam kegiatan
pembelajaran sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini, sehingga guru bisa
mengendalikan proses pembelajaran di kelas.
• Pembukaan
Pada
awal pembelajaran, guru menceritakan kepada siswa bahwa seorang ibu ingin
membagi 3 potong kue serabi kepada 4 orang anaknya sedemikian rupa sehingga
setiap anak mendapat bagian yang sama. Setelah itu, guru mengelompokkan siswa
ke dalam kelompok-kelompok dengan anggota masing-masing 4 orang. Setiap
kelompok diberi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai
model kue serabi dan sebuah gunting, lalu diminta membagi 3 lembar kertas
berbentuk lingkaran itu di antara mereka sehingga setiap anggota menerima
bagian yang sama besar. Guru memberi waktu kepada setiap kelompok untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. Setelah waktu yang diberikan
habis, setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyajikan cara yang mereka
tempuh untuk menyelesaikan masalah, sedangkan kelompok lain memberi kritik dan
saran. Kemudian siswa dikelompokkan menjadi kelompok dengan anggota
masing-masing 5 orang dan diminta membagi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran
menjadi lima bagian yang sama seperti sebelumnya. Lalu siswa diminta
membandingkan potongan mana yang lebih besar (3 lembar kertas berbentuk
lingkaran dipotong 4 atau dipotong 5).
• Proses pembelajaran
Pada
saat pembelajaran berlangsung guru hanya memperhatikan kegiatan setiap kelompok
membagi ”kue” yang diberikan dan memberi bantuan jika diperlukan. Kemudian guru
memberi kesempatan kepada wakil setiap kelompok untuk menyajikan cara mereka
membagi ”kue” dan kelompok lain memberi kritik dan saran. Selain itu, siswa
juga diminta mendiskusikan potongan mana yang lebih besar (”kue” yang dibagi 4
atau yang dibagi 5). Guru mengarahkan siswa dalam diskusi
kelas untuk membuat kesimpulan bersama
tentang arti bilangan pecahan dan cara mengurutkannya.
• Penutup
Sebagai
penutup, siswa diminta mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah yang
berkaitan dengan materi perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru
mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan dan
pelajari saat itu.
Peranan Alat Peraga
Tidak sedikit guru beranggapan bahwa
pola pikir siswa terutama siswa sekolah dasar sama dengan pola pikir guru
sehingga banyak guru menganggap bahwa apa yang dijelaskannya di depan kelas dapat
dipahami dengan baik oleh siswa. Anggapan ini sebenarnya menyesatkan. Sesuai
dengan teori belajar Bruner, pembelajaran matematika di sekolah dasar terutama
di kelas bawah sangat memerlukan benda kongkrit yang dapat diamati dan dipegang
langsung oleh siswa ketika melakukan aktivitas belajar. Karena itu, peranan
alat peraga dalam pembelajaran matematika realistik tidak boleh dilupakan.
Dalam hal ini alat peraga dapat menjembatani konsep abstrak matematika dengan
dunia nyata. Di samping itu, alat peraga juga dapat membantu siswa menemukan
strategi pemecahan masalah. Dari penggunaan alat peraga ini siswa dapat
membangun sendiri pengetahuannya, memahami masalah, dan menemukan strategi
pemecahan masalah.
Sebagai contoh, berikut ini disajikan
pembelajaran matematika di SD Kanisius Demangan Baru Yogyakarta (Triyana,
2004). Materi yang dibahas adalah ”lebih besar dan lebih kecil” dan ”bilangan
antara.” Guru memulai pelajaran dengan meminta siswa menebak bilangan rahasia
yang dipikirkannya. Puluhan siswa segera mengacungkan jari berebut ingin
menebak bilangan rahasia itu. Lebih dari sepuluh anak telah menjawab, namun tak
satupun yang berhasil menebak bilangan rahasia sang guru. Masih ada beberapa
siswa yang mencoba menjawab. Tiba-tiba ada seorang siswa menemukan ide
mengajukan pertanyaan ”Apakah bilangan itu kurang dari 100?” Guru segera
merespons dengan menjawab, ”Ya, bagus sekali! Silakan bertanya lagi.” Seorang
siswa bertanya lagi apakah bilangan itu lebih dari 50. Guru memberi pujian dan
terus memotivasi siswa untuk mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Kurang dari
10 menit akhirnya siswa dapat menebak bilangan rahasia yang dimaksud, yaitu 75.
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah sebenarnya yang diharapkan oleh guru dari
siswa agar mereka sendiri dapat mengembangkan pola pikir untuk memecahkan suatu
masalah. Selanjutnya, guru mengajak siswa kembali bermain tebak-tebakan
bilangan rahasia. Masih ada siswa yang langsung
menyebutkan bilangan
tertentu.Tetapi ada pula siswa yang mengajukan pertanyaan apakah bilangan rahasia
itu lebih besar atau lebih kecil dari bilangan tertentu. Karena memakan waktu
yang lama, guru membantu siswa dengan menggambarkan garis bilangan di papan
tulis, kemudian meminta siswa menuliskan bilangan-bilangan yang sudah
disebutkan tadi. Berkat bantuan garis bilangan ini siswa dapat menebak bilangan
rahasia yang dimaksud dengan lebih cepat dan terarah. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah dengan membuat kartu-kartu bilangan yang digantungkan pada
seutas tali. Mula-mula disiapkan kartu-kartu bilangan yang diberi gantungan
(bisa menggunakan peniti atau penjepit kertas). Kemudian seutas tali
digantungkan di papan tulis. Ketika seorang siswa menyebutkan sebuah bilangan,
siswa itu diminta mengambil kartu bilangan yang disebutkannya dan
menggantungkan kartu itu pada tali yang sudah direntangkan di papan tulis.
Kartu-kartu bilangan tersebut digantungkan sesuai urutannya, yang lebih kecil
di sebelah kiri. Dengan alat peraga sederhana ini siswa dapat langsung melihat
posisi bilangan-bilangan sehingga mereka dapat membentuk sendiri pengetahuan
tentang bilangan ”lebih dari” atau ”kurang dari” dan bilangan antara.
Pada bagian ini disajikan beberapa
contoh masalah kontekstual yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika
realistik. Contoh-contoh ini menggunakan konteks Indonesia. Dalam prakteknya,
Anda dapat menemukan sendiri konteks yang lebih sesuai dengan keadaan lokal dan
kehidupan siswa di tempat Anda mengajar.
Contoh 1 (Belanja)
Contoh ini diadopsi dari Dolk
(2006). Guru memperkenalkan konteks kepada siswa dengan bercerita bahwa dia
akan mengajak beberapa tetangganya untuk makan malam di rumahnya dalam rangka
ulang tahun anaknya. Dia akan memasak gulai ayam. (Anda dapat menggunakan
masakan yang biasa dimasak orang di tempat tinggal Anda masing-masing).
Pada saat berbelanja, dia mendapatkan bahwa harga ayam pada saat itu adalah Rp
15.000,- per kilogram. (Harga dapat disesuaikan dengan harga setempat yang
lebih realistik). Untuk acara makan malam tersebut dia memerlukan tiga
setengah kilogram daging ayam. Guru meminta siswa menghitung berapa besar uang
yang diperlukan untuk membeli 3 ½ kilogram daging ayam tersebut. Siswa bekerja
dalam kelompok dengan dua atau tiga anggota. Beberapa strategi yang mungkin
ditempuh oleh siswa adalah sebagai berikut:
.
Siswa
langsung mengalikan ke bawah 15.000 dengan 3,5 seperti di bawah ini untuk
memperoleh solusi Rp 52.500,-.
.
Siswa
mengalikan terlebih dahulu 15000 dengan 3 untuk memperoleh 45000, lalu
menjumlahkannya dengan ½ dikali 15000, yaitu 7500 dan memperoleh solusi sebesar
Rp 52.500,-.
.
Siswa
membagi 15000 menjadi 10000 dan 5000, kemudian mengalikan masing-masing dengan
3 dan ½ lalu menjumlahkannya untuk mendapatkan solusi yang sama, yaitu Rp
52.500,-.
Contoh 2 (Mengukur dengan manik-manik)
Kemampuan untuk melakukan pengukuran
dalam memecahkan masalah sehari-hari adalah salah satu kompetensi yang harus
dimiliki siswa dalam pokok bahasan geometeri dan pengukuran. Salah satu hasil
belajar yang diharapkan adalah membandingkan pengukuran panjang dan berat. Pada
prinsipnya pengukuran adalah kegaitan membandingkan panjang, volume, atau berat
sesuatu dengan satuan standar (baku) yang telah disepakati di seluruh dunia.
Sebelum siswa diperkenalkan pada pengukuran dengan satu baku, seperti meter,
kilogram, liter dan sebagainya, mereka terlebih dahulu diperkenalkan pada
pengukuran dengan satuan tak baku. Rantai manik-manik dapat digunakan sebagai
alat pengukur sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh siswa. Dalam proses
pembelajaran siswa diminta mengukur meja, kursi, tinggi badan, dan lain-lain
dengan menggunakan rantai manik-manik yang sudah mereka buat. Setelah itu,
siswa menyajikan hasil pengukurannya di depan kelas. Siswa lalu diarahkan untuk
memikirkan masalah bagaimana kalau manik-manik yang digunakan sebagai pengukur
tidak sama. Di sini siswa baru mulai diperkenalkan pada satuan baku
Contoh 3 (Kartu bilangan)
Contoh berikut adalah percobaan yang
dilakukan oleh Dr. Yansen Marpaung, salah satu anggota tim Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia, di Timbulrejo Yogyakarta (Hadi, 2005). Pak
Yansen mempersiapkan 20 kartu yang dapat ”didudukkan” dan terbuat dari karton,
serta menuliskan sebuah bilangan pada setiap kartu mulai dari 1 hingga 20.
Mula-mula Pak Yansen mengambil kartu bilangan 1 dan 20 serta meletakkan kedua kartu
tersebut pada kedua ujung papan tulis sehingga terdapat jarak yang cukup besar
di antaranya. Selanjutnya, Pak Yansen mengambil kartu bilangan 2 dan bertanya
kepada siswa apakah ada yang mau meletakkan kartu itu di papan tulis. Seorang
siswa maju dan meletakkan kartu bilangan 2 di antara kartu bilangan 1 dan 20
tepat di samping kartu bilangan 1. Setelah itu Pak Yansen mengambil kartu
bilangan lain secara acak dan kembali bertanya apakah ada yang mau meletakkan
kartu tersebut pada papan tulis. Demikian seterusnya hingga semua kartu telah
diletakkan pada papan tulis dengan urutan yang benar. Strategi lain
dikembangkan oleh Pak Yansen. Dia membalik kartu bilangan yang sudah tersusun
pada papan tulis dan menyisakan beberapa pada posisi semula. Siswa diminta
menebak bilangan pada kartu-kartu yang terbalik tersebut. Pembelajaran dengan
kartu bilangan ini telah mendorong interaktivitas di kelas dan melibatkan siswa
dalam sebuah pembelajaran yang bermakna, dua karakteristik penting dalam
pendekatan matematika realistik.
Contoh 4 (Membagi kue)
Contoh ini adalah pembelajaran
matematika realistik yang dilakukan oleh Steivoorte (2006) di sekolah dasar
Twickelo di Delden, negeri Belanda. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam
mempelajari pecahan. Dalam konteks Belanda, Steinvoorte menggunakan kue dadar
(sejenis makanan yang berbentuk bulat dan tipis) dan pizza dalam pembelajaran
pecahan. (Untuk Indonesia, konteks ini bisa diganti dengan jenis makanan
lain yang berbentuk bulat dan tipis.) Pecahan 43, misalnya, dapat dilihat
sebagai 43 kue dadar atau 43 pizza, yaitu bulatan dengan seperempat bagian yang
diangkat. Empat orang siswa diminta membagi 3 kue dadar. Mereka segera
menemukan bahwa 43 dapat disusun dari berbagai bagian: tiga potongan yang
seperempat atau satu potongan yang setengah dan satu potongan yang seperempat.
Kemudian siswa ditugasi untuk menghitung 43 dari suatu jumlah; misalnya, 43
dari 16 buah apel Jika diberi balok kayu, siswa dengan sendirinya menemukan ide
untuk menyusun balok-balok tersebut ke dalam empat kelompok yang sama dan
mengambil tiga kelompok dari situ. Ada seorang siswa yang tidak mengambil tiga
kelompok dari empat kelompok yang ada, tetapi mengambil tiga apel dari setiap
kelompok. ”Bukankah tiga perempat adalah tiga dari empat?” katanya. Ada siswa
lain yang tahu bahwa 43 dari 16 sama saja dengan 16 dibagi 4 lalu dikali 3.
Perlu dicatat di sini bahwa kue dadar, pizza, dan apel adalah konteks negeri
Belanda, yang boleh jadi tidak cocok untuk daerah tertentu di Indonesia. Dalam
konteks Indonesia, kue dadar atau pizza
dapat diganti, misalnya, dengan kue serabi, dan apel dengan jeruk.
Pembelajaran Matematika
Sanjaya (2008 : 215), “Pembelajaran
merupakan istilah lain dari mengajar. Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus
dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk
watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan
peserta didik”. Dalam proses
pembelajaran La Costa (dalam Sanjaya, 2008: 219), mengklasifikasikan
pembelajaran berpikir menjadi tiga, yang salah satunya adalah teaching of
thinking. Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang
diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti keterampilan
berpikir kritis, berpikir kreatif dan sebagainya. Ruseffendi (2006: 94)
menyatakan, “Matematika itu penting baik sebagai alat bantu, sebagai ilmu (bagi
ilmiyawan), sebagai pembimbing pola berpikir, maupun sebagai pembentuk sikap.
Oleh karena itu kita harus mendorong siswa untuk belajar matematika dengan
baik”. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi 2006: 156), pembelajaran matematika
dibuat untuk meningkatkan pengajaran matematika yang lebih mengutamakan kepada
pengertian, sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik
Dari uraian di atas dapat dikatakan
bahwa pembelajaran matematika adalah usaha sadar guru untuk membentuk watak,
peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik serta membantu siswa
dalam belajar matematika agar tercipta komunikasi matematika yang baik sehingga
matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik. Selama proses
pembelajaran matematika berlangsung guru dituntut untuk dapat mengaktifkan
siswanya
KESIMPULAN
Hasil belajar matematika siswa dan
penguasaan siswa terhadap konsep-konsep matematika secara umum masih berada
dalam tataran rendah. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa dan
penguasaan siswa terhadap konsep dasar matematika serta untuk meningkatkan
kemampuan berfikir siswa, guru diharapkan mampu berkreasi dengan menerapkan
model ataupun pendekatan dalam pembelajaran matematika yang cocok. Model atau
pendekatan ini haruslah sesuai dengan materi yang akan diajarkan serta dapat
mengoptimalkan suasana belajar. Salah satu pendekatan yang membawa alam pikiran
siswa ke dalam pembelajaran dan melibatkan siswa secara aktif adalah pendekatan
Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik
(RME). Pendekatan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan yang menempatkan
realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran dimana siswa
diberi kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika formalnya
melalui masalah-masalah realitas yang ada. Dengan pendekatan ini siswa tidak
hanya mudah menguasai konsep dan materi pelajaran namun juga tidak cepat lupa
dengan apa yang telah diperolehnya tersebut. Pendekatan ini pula tepat
diterapkan dalam mengajarkan konsep-konsep dasar dan diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan berfikir siswa yang akhirnya bermuara pada meningkatnya
hasil belajar siswa.
Daftar Pustaka
http://sharewithlinggar.blogspot.com/2013/03/pembelajaran-matematika-realistik.html
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCgQFjAB&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsystem%2Ffiles%2Fpenelitian%2FMarsigit%2C%2520Dr.%2C%2520M.A.%2FPendekatan%2520Matematika%2520Realistik%2520pada%2520Pembelajaran%2520Pecahan%2520di%2520SMP_Penataran%2520PMRI%2520SMP%2520BILANBGAN%2520PECAHAN%2520MARSIGIT.pdf&ei=JBUtVJalDcvbuQS5rYHYBw&usg=AFQjCNGc2dqQZkHEAmEDKnYgCR0tmPJMmw&sig2=nEJH-kq_XgdP35F9Jhwv5A&bvm=bv.76477589,d.c2E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar